Peran Dewan Syariah Nasional di Indonesia
Masih banyak yang belum mengetahui apa, siapa, tugas dari Dewan Syariah Nasional MUI (DSN-MUI). Dibawah ini adalah dasar dari Fungsi dan peran Dewan Syariah Nasional di Indonesia
A. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi syariah menunjukkan peningkatan yang memuaskan. Hal ini membuktikan bahwa ekonomi syariah diterima dan mendapat tempat di kalangan penduduk Indonesia. Ekonomi syariah menjadi alternatif bagi masyarakat Indonesia dalam kegiatan ekonominya.
Perkembangan ekonomi syariah ditandai dengan meningkatkan lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis syariah. Selain itu, pertumbuhan ekonomi syariah secara akademik ditandai dengan maraknya pembukaan konsentrasi ekonomi syariah di perguruan tinggi Islam atau umum, juga merebaknya lembaga dan organisasi yang konsen pada kajian dan pengembangan ekonomi syariah.
Dalam bidang keuangan syariah, pertumbuhan lembaga keuangan syariah sangat signifikan. Peningkatan ini dapat dilihat pada beberepa LKS dan LBS berikut:
1. Perbankan syariah adalah lembaga keuangan syariah yang paling berkembangan pesat. Sampai Agustus 2007, menurut Statistik Bank Indonesia, terdapat 3 buah Bank Umum Syariah dengan jumlah kantor 325 buah; dan terdapat 23 Unit Usaha Syariah dengan 165 buah kantor
2. Peningkatan lembaga asuransi syariah. Sampai Juli 2007 terdapat 2 Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, 1 Perusahaan Asuransi Kerugian Syariah, 12 Perusahaan Asuransi Jiwa yang memiliki Kantor Cabang Syariah, 18 Perusahaan Asuransi Kerugian yang memiliki Kantor Cabang Syariah, 3 Perusahaan Reasuransi yang memiliki Kantor Cabang Syariah
3. Pertumbuhan ekonomi syariah juga terjadi di bursa saham. Perkembangan transaksi saham syariah di Bursa Efek Jakarta bisa digambarkan bahwa, berdasarkan lampiran Pengumuman BEJ No. Peng-192/BEJ-DAG/U/06-2007 tanggal 29 Juni 2007, daftar nama saham tercatat yang masuk dalam perhitungan Jakarta Islamic Index (JII) untuk periode Juli 2007 s.d Desember 2007 adalah sebanyak 30 perusahaan saham syariah.
4. Juga pertumbuhan di sektor industri dan bisnis syariah. Sekedar menyebutkan contoh ada hotel syariah, makanan dan minuman berlabel halal, kolam renang syariah, tukang pijit syariah, dan lain sebagainya.
Pertumbuhan yang signifikan ini mengandung konsekuensi tersendiri, yaitu berupa meningkatnya persaingan bisnis LKS dan LBS. Untuk menghindari persaingan tidak sehat yang mengakibatkan terabaikannya prinsip-prinsip syariah, perlu ditingkatkan aspek pengawasan syariah. Perbedaan mendasar LKS dan lembaga keuangan konvensional terletak pada kepatuhannya terhadap aturan syariah. Dengan begitu, peran pengawasan syariah menjadi sangat penting karena akan menentukan kesyariahan LKS dan LBS.
Dalam konteks Indonesia, pengawasan syariah ini, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil dan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/24/pbi/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dilakukan oleh DSN dan DPS.
B. Prinsip dan Dasar Pengawasan dalam Islam
Yang membedakan ekonomi syariah dan konvensional adalah adanya penegasan melaksanakan prinsip-prinsip syariah. Untuk memastikan keberlangsungan prinsip syariah ini, dibentuklah lembaga pengawas syariah.
Eksistensi lembaga pengawas syariah ini diakui sebagai bentuk pengamalan ajaran agama. Mencari rizki yang halal dengan cara yang halal adalah kewajiban setiap muslim. Ekonomi syariah pun demikian halnya, harus menjalankan kegiatannya secara halal. Praktik kehalalan ekonomi syariah ini diawasi agar tidak melenceng.
(Dalil syara’ mengatakan, “apa yang haram diambil haram pula diberikan” ( ما حرم أخذه حرم إعطائه ), atau “apa yang haram dikerjakan haram pula dicari” ( ما حرم فعله حرم طلبه ). Pada tahun 1934, seorang dewan senior Amerika mengatakan bahwa “lembaga keuangan, meski memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari terutama terkait dengan kegiatan keuangan, akan tetapi operasional dan kegiatannya tidak diawasi oleh suatu dewan pengawasan dan tidak memenuhi standar kehati-hatian dan pengawasan sebelum tahun 1934. Kemudian Amerika menetapkan kewajiban bank untuk tunduk kepada pengawasan pemerintah setelah melihat kondisi tersebut. Abdul Hamid Mahmud al-Ba’ly, Mafâhîm Asâsiyyah fî al-Bunûk al-Islâmiyyah, (Kairo: Al-Ma’had al-‘Âlamy Lilfikri al-Islâmy, 1996), hal. 105 – 106.
Dasar dari pengawasan ini seperti yang difirmankan Allah:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ. (التوبة: (105)
Artinya:
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia diberi kesempatan untuk melakukan apa saja. Termasuk kegiatan ekonomi dapat melaksanakan kegiatan apa saja. Hanya saja perbuatan itu diawasi dan diketahui langsung oleh Allah. Pengawasan dari Allah bersifat langsung, sebagaimana dijelaskan pada ayat tersebut. Pada ayat tersebut digunakan kata ( فسيرى ), menggunakan huruf fa’ dan shin yang dalam kaidah ilmu nahwu menunjukkan makna langsung dan segera ( مباشرة وفورية )
Dengan berprinsip kepada syariah, kegiatan ekonomi akan diawasi secara hakiki oleh Allah, karena segala tindakan manusia di muka bumi tidak akan lepas dari pengawasan Allah, karena Allah adalah Maha Pengawas ( الخبير ). Pengawasan Allah ini bersifat melekat. Artinya pengawasan Allah berlangsung kapanpun dan dimanapun tanpa dibatasi oleh sekat waktu dan ruang. Tak sedikit pun terlepas dari pengawasan Allah dan tak sedetikpun terlewat dari pengawasan-Nya.
Pengawasan langsung dan segera seperti dijelaskan dalam ayat di atas tidak hanya dilakukan oleh Allah semata, melainkan ada tiga pihak yang mengawasinya, yaitu:
1. Pengawasan langsung dan melekat oleh Allah.
2. Pengawasan yang dilakukan oleh Rasulullah. Pengawasan oleh Rasulullah ini diwujudkan dalam pengawasan oleh penguasa sebagai ulil amri.
3. Pengawasan umum yang dilakukan oleh umat Islam. Pengawasan ini dapat diwujudkan dalam bentuk langsung berupa pengawasan oleh masyarakat dan pengawasan tidak langsung dalam bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi.
Pengawasan syariah juga memandang bahwa setiap amal itu akan diberikan reward dan punishment. Amal baik akan diberikan pahala dan amal buruk diberikan siksa. Untuk itu, setiap kegiatan manusia, baik dan buruknya, selalu diawasi dan dicatat untuk nantinya diperlihatkan kepada setiap pelakunya. Firman Allah menjelaskan:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ. (الزلزلة: 7-8)
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.
Dari ayat ini jelas, bahwa kegiatan ekonomi yang berprinsip syariah harus tegas dan konsisten dalam menjalankan syariah. Pengawasan syariah ini dilakukan dari berbagai arah dan segi. Firman Allah menunjukkan pengawasan dari segala arah:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ. مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ. (ق: 17-18)
Artinya:
“(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.
Dalam praktiknya, pengawasan masyarakat terhadap kegiatan ekonomi syariah dapat dilakukan melalui lembaga pengawas tertentu, seperti dewan pengawas syariah (DPS). Dewan pengawas ini dapat melakukan pembagian tugas dan kerjasama, yaitu dengan:
1. Dewan pengawas syariah yang ada di dalam LKS
2. Dewan pengawas syariah tingkat nasional atau komisi pengawas syariah di dewan fatwa nasional
3. Dewan pengawas syariah umum (DSN) yang berfungsi mengeluarkan fatwa atau lembaga-lembaga keagamaan
C. Pengawasan dalam Konteks Sejarah
Dalam lintasan sejarah umat Islam, setidaknya ada tiga kekuasaan dalam bidang yudikatif dan pengawasan, yaitu Qadha, Wilâyat al-Madhâlim, dan Wilâyat al-Hisbah. Qadla bertugas mengurus perkara-perkara yang berhubungan dengan agama pada umumnya. Sedangkangkan Wilâyat al-Madhâlim bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding dari dua badan pengadilan; Qadha dan Wilâyat al-Hisbah, dan menyelesaikan perkara yang tidak bisa diatasi oleh dua pengadilan ini. Sementara Wilâyat al-Hisbah bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah-masalah umum dan tindak pidana yang memerlukan penyelesaian segera. Petugas Qadha disebut dengan al-Qadhi, petugas Wilâyat al-Hisbah disebut dengan al-Muhtasib, dan petugas Wilâyat al-Madhâlim disebut Qadhi al-Madhalim.
Ketiga lembaga ini secara umum bertujuan menegakkan yang baik dan melarang perbuatan yang buruk (amar makruf nahi munkar). Dalam kondisi modern, tiga lembaga ini bisa diidentikkan dengan hakim, jaksa, polisi, eksekutor, dewan pengawas, atau lainnya. Ketiga lembaga ini tidak memiliki tugas secara khusus mengawasi kesesuaian kegiatan ekonomi dengan syariat Islam. Meskipun demikian, jika diamati secara cermat ketiga lembaga ini, terutama Wilâyat al-Madhâlim dan Wilâyat al-Hisbah, memiliki tugas mengawasi kegiatan ekonomi agar berjalan sesuai syariat Islam. Berikut akan diuraikan secara singkat mengenai tugas dan kewenangan dari Wilâyat al-Madhâlim, dan Wilâyat al-Hisbah.
1. Wilâyat al-Madhâlim
Wilâyat al-Madhâlim memiliki tugas mengadili pejabat negara, baik khalifah, gubernur, maupun aparat pemerintahan lainnya, yang berbuat kedzaliman kepada rakyat. Wilâyat al-Madhâlim berwenang mengadili mereka-mereka yang tidak bisa diadili oleh hakim biasa, karena pengaruh politiknya, seperti pejabat negara dan sebagainya, termasuk ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim. (Nasir Ibnu Aqil 1986)
Kewenangan yang dimiliki oleh Wilâyat al-Madhâlim lebih besar dari pada dua lembaga peradilan/pengawas lainnya. Untuk itu, untuk menjadi hakim Wilâyat al-Madhâlim (Qadhi al-Madhalim atau Nadhir al-Madhalim), harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik kompetensi maupun kredibilitas. Menurut al-Mawardi, penulis buku al-Ahkâm al-Shulthâniyah, seorang Qadhi al-Madhalim harus memenuhi criteria memiliki status social yang tinggi, memiliki ketegasan sikap, mempunyai kewibawaan dan charisma, mempunyai kehormatan diri (‘iffah), tidak koruptip (thama’i), dan memiliki sifat wara’(Abu Hasan Ali)
Kewenangan (kompetensi) yang dimiliki Wilâyat al-Madhâlim, menurut al-Mawardi, mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Berwenang mengadili pejabat negara yang bertindak tidak adil kepada rakyatnya. Lembaga ini berwenang menyelidiki, menuntut, mengadili, dan mengeksekusi pelaku ketidakadilan yang dilakukan pejabat negara.
b. Berwenang menyelidiki penyelewengan dan kecurangan yang dilakukan pegawai negara terhadap penarikan pajak dari rakyat. Lembaga ini berwenang untuk memerintahkan kepada pegawai yang berbuat curang untuk mengembalikan kecurangan pajak yang telah dilakukan kepada pihak yang dicurangi.
c. Berwenang menyelidiki, meneliti, dan menghukum pegawai kantor pemerintahan, yang telah dipercaya oleh rakyat, untuk mengurusi harta mereka. Bila bertindak tidak sesuai dengan aturan, lembaga ini dapat menghukumnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
d. Berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah pemberi gaji (bendaharawan) negara untuk membayarkan gaji kepada pegawai tepat waktu. Jika ada pengurangan yang dilakukan oleh bendaharawan, lembaga ini dapat memerintahkan kepada negara untuk mengembalikannya kembali kepada yang berhak menerimanya.
e. Berwenang mencegah perampasan harta rakyat baik yang dilakukan oleh pejabat negara atau “orang kuat”. Pejabat negara maupun siapapun orangnya tidak diperkenankan untuk merampas harta rakyat. Tugas lembaga inilah untuk mencegah kesewenang-wenangan dari pejabat negara dan orang kuat dari perampasan terhadap harta rakyat.
f. Berwenang mengawasi harta-harta wakaf. Harta wakaf yang diawasi oleh lembaga ini baik harta wakaf umum maupun wakaf harta khusus. Wakaf harta umum dapat diawasi langsung oleh lembaga ini untuk menjaga kelestariannya. Sedangkan untuk wakaf khusus, lembaga ini tidak dapat memproses perkara sebelum ada pengaduan dari masyarakat.
g. Berwenang menjalankan fungsi hakim dan peradilan manakala hakim dan peradilan tidak mampu menjalankan proses hukum karena pihak yang berpekara memiliki wibawa yang lebih tinggi. Lembaga ini dapat menggantikan fungsi hakim dan pengadilan untuk mengadili pihak yang berwibawa ini.
h. Berwenang menjalankan fungsi Wilâyat al-Hisbah, manakala lembaga ini tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya dalam menegakkan perkara-perkara yang melingkupi hajat hidup orang banyak.
i. Berwenang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah yang mengandung unsur syiar Islam, seperti perayaan hari besar, haji, dan sebagainya. Lembaga ini berwenang membuat aturan tentang prosedur dan penentuan waktu yang harus dipenuhi oleh penyelenggara.
j. Berwenang memeriksa orang-orang yang bersengketa dan menetapkan hukumnya bagi mereka. Fungsi ini dapat dilakukan oleh lembaga ini selama tidak melewati aturan-aturan yang ada dalam qadha.
Dari paparan kompetensi Wilâyat al-Madhâlim di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa lembaga ini memiliki kewenangan untuk mengawasi praktik ekonomi. Sebagai contoh, lembaga ini berwenang untuk mengawasi harta wakaf agar dijalankan sesuai dengan amanat dan fungsi wakaf. Lembaga ini juga berwenang mengawasi perilaku pejabat negara agar tidak menyeleweng dan berperilaku menyalahi aturan agama dan aturan hukum yang ada.
2. Wilâyat al-Hisbah
Wilâyat al-Hisbah adalah lembaga yang berwenang memerintahkan kepada yang makruf ketika ada yang jelas-jelas meninggalkannya dan melarang yang munkar ketika ada yang jelas-jelas menjalankannya. Selain memerintahkan yang makruf dan melarang yang munkar, menurut Athiyah, lembaga ini berfungsi pula menciptakan kemaslahatan manusia dengan metode yang sesuai dengan syariat Islam. Lembaga ini bahkan berwenang untuk menetapkan hukum dan menyelesaikan sengketa tanpa harus menunggu adanya dakwaan atau pengaduan. (ibnu Qoyim)
Dasar pendirian lembaga ini adalah firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 yang menyatakan:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون.
ِArtinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Perintah Alquran ini merupakan inti dari ajaran Islam, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Perintah ini merupakan wujud dari ketakwaan dan kehambaan dari Allah.
Kompetensi yang dimiliki oleh Wilâyat al-Hisbah adalah sebagai berikut:
a. Amar makruf nahi munkar
b. Membimbing masyarakat untuk memelihara kemaslahatan umum
c. Mencegah penduduk dari membangun rumah-rumah yang mengakibatkan sempitnya jalan-jalan umum
d. Mencegah para pedagang meletakkan barang-barang dagangannya yang dapat menghalangi lalu lintas
e. Mencegah para buruh membawa beban di luar kemampuannya
f. Mencegah kendaraan-kendaraan dari mengangkut barang-barang yang melebihi daya angkutnya
g. Memerintah para pemilik rumah untuk segera membongkar rumahnya yang hampir roboh agar tidak menimbulkan bencana bagi orang lain
h. Menasehati para guru yang memukul muridnya yang melebihi kepatutan
i. Mencegah tetangga dari mengganggu hak-hak tetangga lainnya
j. Menerima pengaduan yang termasuk di dalam wilayah kompetensinya, seperti penipuan dalam timbangan dan takaran
k. Mendesak orang-orang yang suka mengangguhkan pembayaran hutang-hutangnya agar segera melunasinya
l. Memperhatikan kondisi para pejabat tinggi dan menegurnya apabila mereka tidak mau memenuhi kewajiban-kewajibannya
m. Menyelesaikan suatu persengketaan dan menyelesaikan suatu pengaduan selama masih berada dalam wilayah kekuasaannya
n. Mengambil keputusan terhadap permasalahan yang termasuk dalam wilayah kompetensinya. (Hasybi Assydiqy)
Wilâyat al-Hisbah berwenang mengadili pengaduan karena delik pengurangan timbangan atau takaran, penipuan (ghasy), penyembunyian (tadlîs), baik dalam barang dagangan maupun harganya, juga berwenang terhadap menangani pihak yang menunda pembayaran hutang padahal mampu membayarnya.
Lembaga Hisbah dapat membatalkan perdagangan yang rusak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, juga dapat menghukum dan memerintahkan kepada pelakunya untuk merubah sikap tersebut. Lembaga Hisbah dalam hal ini berperan sebagai pengawas agar para pelaku bisnis dan perdagangan menjalankan prinsip syariah dalam muamalat, termasuk dalam perdagangan dan bisnis.
D. Peran DSN
Keberadaan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI belum diatur secara khusus dalam sebuah undang-undang. Dasar hukum yang mengikat bagi DSN adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/24/pbi/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam peraturan ini hanya dijelaskan pengertian DSN, tidak diatur hal-hal lainnya. Aturan lain adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Menurut PBI Nomor 6/24/PBI/2004, Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dewan Syariah Nasional berfungsi memberikan kejelasan atas kinerja lembaga keuangan syariah agar betul-betul berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Lahirnya DSN sebagai wujud dari antisipasi atas kekhawatiran munculnya perbedaan fatwa di kalangan Dewan Pengawas Syariah.(Muhamad Firdaus 2005) Karena bersifat fiqhiyah, kemungkinan terjadi perbedaan pendapat fatwa sangat besar. Untuk itu, dengan dibentuknya sebuah dewan pemberi fatwa ekonomi Islam yang berlaku secara nasional diharapkan tidak terjadi perbedaan istinbât hukum. Fatwa DSN menjadi pegangan bagi DPS untuk mengawasi apakah lembaga keuangan syariah menjalankan prinsip syariah dengan benar.
DSN adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1998 yang kemudian dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI Nomor Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Pebruari 1999. Pendirian DSN ini tidak secara tiba-tiba ataupun terburu-buru, melainkan setelah didahului beberapa kali pertemuan yang dilakukan oleh MUI; antara lain Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah pada tanggal 29-30 Juli 1997 di Jakarta yang merekomendasikan agar dibentuk DSN untuk mengawasi dan mengarahkan lembaga-lembaga keuangan syariah, dan rapat tim pembentukan DSN pada 14 Oktober 1997.
Pada bagian konsideran SK DP-MUI tentang pembentukan DSN tersebut dinyatakan, antara lain, bahwa hal yang melatarbelakangi pembentukan DSN adalah dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syari’at Islam.
Selain itu, kehadiran DSN pun diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan. Oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional akan senantiasa dan berperan secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan.
DSN memiliki metode tersendiri dalam menjamin kesyariahan ekonomi Islam. Karakteristik utama dari metode itu adalah:
1. Jika ada suatu teks di dalam Alquran atau sunnah yang tampak relevan dengan problem yang dihadapi, Dewan Syariah tidak akan mencari di luar teks tersebut. Jika ada kesepakatan di kalangan fuqaha atas suatu masalah, Dewan Syariah mengikuti apa yang sudah menjadi kesepakatan itu.
2. Menguji masalah yang sedang berkembang di masyarakat, untuk dilihat apakah masalah itu dapat dimasukkan ke dalam salah satu kontrak atau masalah yang diharamkan atau dihalalkan dalam fikih. Dalam perbandingan antara masalah yang dihadapi dengan yang ada dalam fikih ini, fokus Dewan Syariah umumnya adalah definisi-legal fikih. Jika masalah itu akan diselesaikan dengan hukum yang ada dalam fikih. (Abdullah Saeed 1996).
Adapun tugas dan wewenang utama DSN adalah memberikan fatwa ekonomi syariah. DSN memiliki tugas uatama sebagai berikut:
1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Adapun wewenang yang diberikan oleh MUI kepada Dewan Syariah Nasional adalah:
1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan syariah.
4. Memberikan saran-saran pengembangan lembaga keuangan syariah kepada Direksi dan/atau Komisaris mengenai operasional lembaga keuangan syariah yang bersangkutan.
5. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
6. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
7. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, DSN memiliki tata kerja tersendiri. Adapun mekanisme kerja DSN adalah:
1. Mensahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN dalam rapat pleno.
2. Menetapkan, mengubah, atau mencabut berbagai fatwa dan pedoman kegiatan lembaga keuangan syariah dalam rapat pleno.
3. Mensahkan atau mengklarifikasi hasil kajian terhadap usulan atau pertanyaan mengenai suatu produk atau jasa lembaga keuangan syariah dalam rapat pleno.
4. Melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan.
5. Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
E. Peran DPS
Berbeda dengan DSN yang tidak diatur dalam UU, DPS diatur dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi DPS sebagai lembaga pengawas syariah terhadap bank yang menerapkan prinsip syariah.
DPS adalah lembaga pengawas syariah yang bertugas mengawasi operasional dan praktik LKS agar tetap konsisten dan berpegang teguh kepada prinsip syariah. Pedoman Dasar DSN (bab II ayat 5) mengemukakan, Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional di lembaga keuangan syariah. Sementara itu, Pedoman Rumah Tangga DSN (pasal 3 ayat 8) menegaskan, Untuk lebih mengefektifkan peran DSN pada lembaga keuangan syariah dibentuk Dewan Pengawas Syariah, disingkat DPS, sebagai perwakilan DSN pada lembaga keuangan Syariah yang bersangkutan. DPS, sebagaimana diatur dalam PBI No. 6/24/PBI/2004 adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha LKS.
Dalam Pedoman Dasar DSN tersebut, mekanisme kerja DPS dijelaskan sebagai berikut:
1. Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
2. Berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional.
3. Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
4. Merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional.
Sedangkan Mengenai tugas dan fungsi DPS diatur dalam Pedoman Rumah Tangga DSN sebagai berikut:
1. DPS pada setiap lembaga keuangan mempunyai tugas pokok:
(1) memberikan nasihat dan saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang lembaga keuangan syariah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aspek syariah.
(2) melakukan pengawasan, baik secara aktif maupun secara pasif, terutama dalam pelaksanaan fatwa DSN serta memberikan pengarahan/ pengawasan atas produk/jasa dan kegiatan usaha agar sesuai dengan prinsip syariah.
(3) sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
2. DPS berfungsi sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada lembaga keuangan syariah wajib:
(1) mengikuti fatwa DSN.
(2) merumuskan permaslahan yang memerlukan pengesahan DSN.
(3) melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.
F. Tata Cara Pengawasan di Bank Syariah
Pengawasan yang dilakukan oleh DPS di bank syariah, sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/19/Dpbs Tanggal 24 Agustus 2006 tentang Sistem Pengawasan dan Tata Cara Pelaporan, dibakukan dan distandarkan, .
Standarisasi laporan ini didasarkan atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 6/17/PBI/2004 Tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah, PBI Nomor 6/24/2004 tentang Bank Umum Syariah, dan PBI Nomor 8/3/PBI/2006 tentang DPS menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah secara periodic kepada DSN, BI, Direksi, dan Komisaris. Standarisasi ini juga merupakan jawaban dari rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ijtima’ Sanawi (Annual Meeting) DPS yang pertama tahun 2005.
Tujuan dilakukannya standarisasi ini, sebagaiman disebutkan dalam SE BI itu adalah:
a. Menjadi acuan minimal bagi DPS dalam menjalankan fungsi pengawasan syariah.
b. Memberikan kesamaan pandang dan sikap dalam menanggapi dan menangani setiap permasalahan yang dihadapi bank.
c. Memenuhi standar good corporate governance dan aspek akuntabilitas dan transparansi.
Pedoman pengawasan syariah hanya mencakup hal-hal yang terkait dengan aspek kepatuhan syariah (sharia compliance aspects) baik dalam operasional maupun produk dan jasa bank syariah. Pedoman pengawasan syariah ini mengacu kepada:
a. Undang-Undang Perbankan.
b. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
c. Pedoman yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
d. Prinsip-prinsip syariah dalam Sharia Standards (Ma’âyir Syar’iyyah) yang diterbitkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI).
e. Pedoman umum dalam Accounting, Auditing, and Governance Standards for Islamic Financial Institution yang dikeluarkan oleh AAOIFI.
f. Pedoman pengawasan dan pemeriksaan Bank Syariah yang diterapkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (Dpbs-BI).
g. Ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang berlaku bagi bank syariah.
h. Pedoman Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi yang berlaku bagi perbankan syariah yang disusun oleh Bank Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
i. Panduan Audit Bank Syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia.
j. Ketentuan umum yang dikeluarkan oleh instansi terkait dan undang-undang yang berlaku secara umum.
k. Berbagai buku literature lainnya yang terkait dengan pengawasan syariah pada lembaga keuangan dan perbankan syariah
Sekurang-kurangnya setiap enam bulan sekali, DPS harus melaporkan hasil pengawasan kepada BI, DSN, Direksi dan Komisaris dengan format yang telah ditetapkan (lampiran 1).
G. Format Laporan Pengawasan
Sekurang-kurangnya setiap enam bulan sekali, DPS harus melaporkan hasil pengawasan kepada BI, DSN, Direksi dan Komisaris dengan format seperti di atas. DPS dalam menyampaikan laporannya menggunakan kertas kerja yang sudah disiapkan formnya oleh BI, yaitu sebagai berikut:
Nama Bank Syariah :
Tanggal Laporan :
Tanggal Laporan :
Lampiran 1
No Uraian Pendapat DPS
Sesuai
Sharia Tidak
Sesuai Catatan (dijelaskan dlm lamp. terpisah)
1 Kesesuaian produk dan jasa dgn fatwa DSN
A Penghimpunan dana
– Giro
– Tabungan
– Deposito
– Surat berharga yang diterbitkan
– Penerimaan dana dari bank lain
– Lainnya
B Penyaluran dana
– Murabahah
– Istishna
– Salam
– Mudharabah
– Musyarakah
– Ijarah
– Qardh
– Pembelian surat berharga
– Penempatan pada bank lain
– Lainnya
C Jasa-jasa
– Wakalah
– Kafalah
– Rahn
– Lainnya
2 Apakah terdapat produk dan jasa yang dilakukan bank yang tidak/belum diatur dalam fatwa DSN
3 Pedoman operasional dan produk bank telah sesuai dengan prinsip syariah dalam fatwa DSN
A Pedoman operasional penghimpunan dana
B Pedoman operasional penyaluran dana
C Pedoman operasional jasa
D Pedoman perhitungan distribusi bagi hasil
E Pedoman akuntansi sesuai dengan PSAK dan PAPSI
4 Opini syariah secara keseluruhan atas pelaksanaan operasional bank dalam laporan publikasi bank
5 Informasi temuan syariah lainnya dari DPS
6 Usulan dan rekomendasi
No Nama Jabatan Tanda Tangan
1 Ketua
2 Anggota
3 Anggota
H. Keberadaan DSN dan DPS di Beberapa Bank Syariah Dunia
Sudan menempatkan Dewan Syariah (Sharia Supervisory Board) di dalam struktur bank sentral (Bank of Sudan). Kedudukan Sharia Supervisory Board berada setingkat dengan deputi gubernur. Seluruh fatwa yang dikeluarkan oleh Sharia Supervisory Board dapat langsung diterapkan di bank syariah, karena fatwa Sharia Supervisory Board merupakan keputusan bank sentral. Fatwa Sharia Supervisory Board dapat langsung dipositivisasi oleh bank sentral.
Sharia Supervisory Board memiliki fungsi mengeluarkan fatwa yang terkait dengan sharia compliance. Sharia Supervisory Board juga berfungsi sebagai pemutus atas perbedaan pendapat atau tafsir atas prinsip-prinsip syariah. Di samping ada Sharia Supervisory Board (semacam DSN), Sudan mewajibkan kepada bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah yang jumlahnya paling sedikit tiga orang.
Di Malaysia, keberadaan DSN masuk struktur Bank Negara Malaysia berada setingkat dengan departemen yaitu di bawah Islamic Banking and Takaful Departmen. Kedudukan ini lebih rendah dibanding dengan kedudukan DSN di Sudan yang setingkat dengan deputi. Fatwa yang dikeluarkan DSN Malaysia secara otomatis diakui oleh bank sentral dan mengikat bagi bank syariah.
Untuk mengantisipasi perbedaan pandangan dan keputusan mengenai kesyariahan suatu bank oleh beberapa DPS, dibentuklah DPS tingkat nasional yang lahan kerja seluruh bank syariah. Di negara Arab dibentuk Dewan Tinggi Fatwa dan Pengawas Syariah yang berfungsi untuk menetapkan fatwa tingkat nasional yang menjadi referensi dan rujukan bagi DPS dan bank syariah secara keseluruhan. Dewan fatwa ini menjadi penentu dan pemutus atas fatwa atau fatwa-fatwa yang berbeda di kalangan DPS di bank syariah.
Anggota DPS diambil dari kalangan yang memiliki pengetahuan luas bidang agama, dan mendalami fikih Islam, fikih muamalat, ekonomi Islam, dan memahami peraturan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan bank syariah. Di bank Islam Faisal dan bank Islam At-Takwa, penentuan dilakukan oleh rapat umum pemegang saham. RUPS berhak menetapkan siapa yang akan menjadi anggota DPS dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi oleh calon anggota DPS.
Peraturan Bank Islam At-Takwa memberikan kewenangan tambahan kepada DPS yaitu dalam kondisi DPS menolak dewan direksi karena saran-sarannya, DPS dapat mengundang RUPS luar biasa dan menyampaikan penyelewengan bank atas prinsip syariah. RUPS dapat mengambil langkah tepat untuk menyebarkan luaskan pandangan dan pernyataan DPS melalui sarana media informasi.
I. Penutup
Keberadaan lembaga pengawas syariah akan selalu berkembang seiring pertumbuhan ekonomi syariah. Dalam RUU Perbankan Syariah yang sedang digodok di DPR, salah satu pasal yang dianggap krusial dan mengundang perdebatan adalah eksistensi DSN-MUI. Apakah lembaga ini tetap dipertahankan atau diganti Komite Ahli Syariah (KAS). Namun, alhamdulillah DPR dan Pemerintah menyetujui mempertahankan DSN dan membentuk KAS.